Ada yang menarik dari percakapan yang tak sengaja saya dengar dari pembicaraan tadi pagi disebuah kedai kopi swalayan berwaralaba dari Jepang . Percakapan itu adalah percakapan dua arah di telepon. Saya tidak bisa mendengar apa yang dikatakan si lawan bicara perempuan muda yuppies pertengahan usia 20-an itu dengan lawan bicaranya, tapi saya mendapati kesan bahwa sang perempuan berkata "aku gak sangka kamu kok begitu", kamu kok bisa serumit itu,aku gagal paham..!" Sambil mematikan rokok kretek berfilter- perempuan muda ini masuk kedalam ruangan swalayan berpendingin udara itu.
Dari intensitas kata dan diksi yang lugas khas kelas menengah Jakarta, saya asumsikan ini adalah percakapan antara sahabat karib. Potongan percakapan itu seolah menjadi pengingat bagi saya bahwa pengalaman menghadapi kebingungan dan kerumitan juga adalah sesuatu yang pernah saya alami dalam relasi-relasi saya dengan orang-orang terdekat. Karib, pasangan ,kenalan dan sahabat yang kita pikir sudah begitu dekat kita kenal, dapat menunjukan anomali ;ifat-sifat yang mengejutkan kita. Yang biasanya begitu bertanggung jawab, tiba-tiba menimbulkan sikap impulsif . Yang lazimnya tampil penuh kalkulasi tiba-tiba melakukan hal yang fatal. Yang beriman tiba-tiba menjadi skeptis. Yang biasanya penuh penguasaan diri tiba-tiba menampilkan dirinya sebagai pemberang.
Manusia adalah mamalia dengan refleks reptil jikalau berhadapan dengan anomali kata para pakar sosiologi evolusioner. Respons kita terhadap yang asing dan berbeda menggoda kita untuk mengeluarkan respons binari: tempur atau kabur. Dalam urusan relasi dengan orang-orang terdekat yang menunjukan anomali hal ini rupanya berlaku. Kita marah, kita melawan, bahkan menghindari orang-orang dan kerabat yang menunjukan sisi yang bisa mengiritasi kita. Kita kecewa dan meninggalkan mereka, karena merasa mereka sudah berubah. mengutip judul lagu Dewi Yull yang pernah diparodikan Padhyangan Project yang sering saya dengan beberapa tahun lalu di warung indomie :"kau bukan dirimu lagi". Kau bukan dirimu yang dulu saya pernah kenal. Itu sebabnya kini kau adalah orang asing, dan saya perlu kabur atau bertempur melawanmu.
Tapi apakah hanya itu saja respons terbaik kita menghadapi keunikan karakter dan kejutan-kejutan dari sikap anomali sahabat kita?
Saya rasa kita perlu mempertimbangkan apa yang dikatakan Julia Kristeva, seorang filsuf dan psikoanalis Bulgaria . Dalam bukunya strangers to ourself ,Kristeva mengingatkan bahwa perjumpaan dengan yang asing dalam wajah sesama kita adalah tanda bahwa sesama kita adalah sebuah misteri yang tidak bisa kita ikat dalam semata-mata kategori sosial politik semata. Si Polan bukanlah semata-mata orang batak dan kristen saja. Tapi dia juga adalah penggemar indomie goreng( Anda tak pernah tahu bagaimana kegemaran pada makanan ini membentuk ide-ide tentang ketidamungkinan kata Arman Dani hehe). Ada yang subtil dari apa yang tidak terkategorikan.
Kristeva menambahkan bahwa " ketakutan dan keterkejutan kita terhadap hal asing yang ditunjukan sesama kita adalah karena kita mengesensialkan, atau memasukan sesama kita dalam kategori-kategori imajiner. Kita melihat sesama kita sebagai objek abstrak, bukan sebagai manusia yang multi narasi dan kompleks.
maka itu mungkinkah godaan lain dari persahabatan kata seorang teman adalah "keakraban yang menghegemoni". Apa maksudnya? Maksudnya adalah karena kita merasa sudah akrab dan karib, kita lantas berasumsi kita sudah mengenalnya luar dalam. Kita merasa kita sudah dapat menakar kawan kita dalam rumusan dan kategori-kategori pertimbangan kita. Dan yang mengejutkan menurut Kristeva, hal ini lahir dari kecenderungan kita untuk menolak sisi asing dalam diri kita. Kita terobsesi dengan integritas. Keutuhan subjek. Padahal manusia sebagai subjek tidaklah pernah menjadi sesuatu yang dua dimensi. Sang diri dengan segala luka, patah hati, kesepian, kecewa dan kebetean nya adalah diri yang berlapis-lapis dan beragam. Singkatnya : Ada yang asing didalam diri kita yang kita pun akan terkejut kalau menjumpainya. Kebingungan yang menggema dalam diri setiap orang, termasuk saint Paul sejak curcol (curhat colongan)nya di magnus opus teologinya "Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat , tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat. -Roma 7 :15.
Itu sebabnya mungkin langkah sebelum kita menangani keterkejutankita menghadapi anomali yang ditampilkan dalam wajah pasangan, kawan karib atau sahabat, kita perlu berurusan dan berdamai dengan beragam keanehan dan keunikan serta keretakan kita. Sang diri yang tidak pernah utuh selalu terfragmentasi ini adalah pergumulan kita. Saya rasa ini cikal bakal pengharapan kita . Mungkin,,
Saat menulis ini saya dikejutan oleh ledakan tawa. Ooh perempuan yuppies itu sekarang kok ketawa-ketawa lagi, sambil menyalakan batang kesekian dari rokok kreteknya..tapi kali ini dia ditemani dengan secangkir teh di gelas karton.. Ah jangan-jangan saya sedang menghegemoni dan mengesensialisasi pengalaman dia lewat fenomena dangkal semata..
catatan berantakan suarbudaya
Nelayan menyelam mencari mutiara, saudagar berlayar mengarungkan perahu, sementara anak-anak menghimpun batu dan menebarkannya kembali; sebuah tulisan tak sistematis dari orang kristen yang belum selesai dengan hidupnya.
Selasa, 25 Agustus 2015
Kamis, 25 Juni 2015
kembali pada yang biasa.
Begitu banyak yang harus dikerjakan, Tuntunan didalam pelayanan gereja, organisasi, dan rumah tangga,olahraga ,berlibur dan sekelumit hal-hal yang sebetulnya remeh tapi tidak serta merta menjadi temeh.
Beginilah cara hidup menyeret kita kepusaran. Semua hal seolah berteriak "aku penting" dan karenanya menuntut kita meluangkan lebih banyak waktu dan tenaga untuk berurusan dengannya.
Beberapa tahun lalu diawal mengawali karir sebagai pendeta, saya berpikir bahwa pelayanan yang baik adalah pelayanan yangsibuk sepanjang jam dan hari kerja. Jadi saya terus membuat diri saya lebih sibuk, lebih terokupasi dengan konseling, kunjungan, membaca banyak buku yang relevan maupun yang tidak terlalu relevan dengan kehidupan saya. Dengan asumsi" suatu saat mungkin saya membutuhkan pengetahuan soal hal ini".
Ditengah-tengah segala hiruk piku itulah saya mulai tergelayuti oleh keletihan yang datang bagaikan seorang pengawas pabrik ditengah saat-saat santai. Sungguh menurut saya "tidak pantas saya merasa letih,karena saya belum berbuat banyak" begitu ujar superegoku.
Tapi dorongan superego mesti mengalah pada id yang adalah representasi dari realitas kehidupan saya.
Setelah 5 tahun terlibat dalam dunia pelayanan pastoral yang konon kata Billy Graham " berpotensi merusak kesehatan fisik dan mental " saya merasa inilah saatnya saya memiliki ruang pengendapan pemikiran, ide, keresahan dan pertanyaan. Saya belajar bahwa mengikuti mimpi dan hasrat sering membawa saya ketempat yang menyusahkan dan jauh dari kepuasan. Saya putuskan : saya mau mulai mengikuti pertanyaan dan keresahan saya alih-alih mimpi saya yang mungkin saja sudah dibajak mimpi kolektif kelas menengah ngehe Jakarta.
Mudah-mudahan blog ini jadi langkah kuratif dan pembaharuan roh saya. Semoga.
Beginilah cara hidup menyeret kita kepusaran. Semua hal seolah berteriak "aku penting" dan karenanya menuntut kita meluangkan lebih banyak waktu dan tenaga untuk berurusan dengannya.
Beberapa tahun lalu diawal mengawali karir sebagai pendeta, saya berpikir bahwa pelayanan yang baik adalah pelayanan yangsibuk sepanjang jam dan hari kerja. Jadi saya terus membuat diri saya lebih sibuk, lebih terokupasi dengan konseling, kunjungan, membaca banyak buku yang relevan maupun yang tidak terlalu relevan dengan kehidupan saya. Dengan asumsi" suatu saat mungkin saya membutuhkan pengetahuan soal hal ini".
Ditengah-tengah segala hiruk piku itulah saya mulai tergelayuti oleh keletihan yang datang bagaikan seorang pengawas pabrik ditengah saat-saat santai. Sungguh menurut saya "tidak pantas saya merasa letih,karena saya belum berbuat banyak" begitu ujar superegoku.
Tapi dorongan superego mesti mengalah pada id yang adalah representasi dari realitas kehidupan saya.
Setelah 5 tahun terlibat dalam dunia pelayanan pastoral yang konon kata Billy Graham " berpotensi merusak kesehatan fisik dan mental " saya merasa inilah saatnya saya memiliki ruang pengendapan pemikiran, ide, keresahan dan pertanyaan. Saya belajar bahwa mengikuti mimpi dan hasrat sering membawa saya ketempat yang menyusahkan dan jauh dari kepuasan. Saya putuskan : saya mau mulai mengikuti pertanyaan dan keresahan saya alih-alih mimpi saya yang mungkin saja sudah dibajak mimpi kolektif kelas menengah ngehe Jakarta.
Mudah-mudahan blog ini jadi langkah kuratif dan pembaharuan roh saya. Semoga.
Anateisme: Berilah Allah kesempatan lagi..
“Jika ada
Allah yang maha kuasa dan baik mengapa didunia ini ada kejahatan yang banal
? “Saya menolak pecaya kepada Allah yang
mampu tapi tidak mau mencegah datangnya kejahatan yang menimpa anak saya”,
Sahut seorang ibu penyintas kasus pemerkosaan yang menimpa anak gadisnya yang
berusia 9 tahun. “Jika ada Allah yang maha kuasa dan maha baik mengapa Dia
merenggut hidup saya yang sedang dalam proses pengabdian menjadi seorang imam dengan memberikan saya penyakit HIV?”
Pernyataan-pernyataan ini adalah pernyataan yang didengar oleh penulis selaku
pendeta jemaat lokal dalam beberapa sesi konseling pastoral yang alot.
Pernyataan-pernyataan gamblang ini terdengar provokatif namun disisi lain
terasa getir dan apa adanya.
Pergumulan
hidup dan penderitaan adalah sebuah palu yang menghantam
bukan saja emosi tapi juga cara berpikir
dan beriman. Dan penjelasan-penjelasan ontoteologis soal keberadaan Allah
dihadapan penderitaan menurut pengalaman penulis tidak banyak membantu. Phillip
Yancey didalam buku Where is God When it
Hurt? Berkata :
“I have mentioned that no one offers the name
of a philosopher when I ask the question, “Who helped you most?” Most often
they answer by describing a quiet, unassuming person. Someone who was there
whenever needed, who listened more than talked, who didn’t keep glancing down
at a watch, who hugged and touched, and cried. In short, someone who was
available, and came on the sufferer’s terms and not their own.” (Yancey , 1997, 4)
Yang
diperlukan bagi penyintas menurut Yancey adalah semacam pendampingan yang setia
disamping orang yang menderita. Tapi Yancey kemudian mengatakan bahwa diperlukan
penjelasan lain yang melampaui ontoteologi Heiddegerian dam Kantian[1] untuk menjelaskan relasi antara Allah yang ada dengan realitas
kejahatan. Sebentuk penjelasan yang segar yang didasarkan atas perjumpaan
dengan Allah dalam perspektif yang baru perlu dilakukan[2] (Yancey,1997,43) .
Dengan
Puitis Yancey menyampaikan kembali hal
itu dalam wawancaranya dengan majalah Christianity today yang dikutip dan
diterjemahkan oleh laman cahayapengharapan.org demikian :
“Saya
sudah belajar untuk melihat pada kontak yang lebih tersembunyi di antara dunia
yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Saya merasakan di dalam cinta romantis
sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan daya tarik biokimia. Saya merasakan
di dalam alam dan keindahannya tanda-tanda seorang pencipta yang genius yang
secara natural memancing respon dari saya. Saya merasakan di dalam keinginan,
termasuk berahi seksual, tanda-tanda yang kudus mendambakan kontak. Saya
merasakan di dalam belas kasih, kemurahan, keadilan dan pengampunan suatu
kualitas kasih karunia yang berbicara kepada saya tentang dunia yang lain,
terutamanya di tempat-tempat yang saya kunjungi, seperti Rusia, di mana semua
hal itu telah terhilang. Singkat kata, saya percaya bukan karena dunia yang
tidak kasat mata itu dengan lantang berbicara tapi karena dunia yang kasat mata
ini membisikkan akan suatu ketidak-lengkapan.”[3]
Allah
diluar theodicy ?
Ketidaklengkapan, absennya kebaikan dan berbagai hal
yang meresahkan Yancey mengenai urgensi perjumpaan kembali dengan Allah diluar
ontoteologi dan theodicy tidak pernah benar-benar diartikulasikan
olehnya. Itu sebabnya menurut penulis, kita perlu menengok kepada
pemikiran Richard Kearney perjumpaan anateisme[4]; perjumpaan kembali
dengan Allah, setelah nihilisme yang dibawa oleh masa sekularisme pencerahan
(Kearney2012,166). Anateisme tidak menawarkan proposal baru untuk Tuhan yang
baru, agama baru, atau dogmatika baru. Alih-alih anateisme adalah sebuah
proposal untuk menjumpai Allah kembali lewat cara-cara yang sudah ada dan menubuh didalam
kebudayaan, agama, dan masyarakat yang terabaikan dialam pendekatan berteologi
modern (Kearney ,2012,167).
Ditengah
kebangkitan fundamentalisme beragama dan
fundamentalisme ateisme dalam apa yang disebut Kearney sebagai Anti God Squad (Kearney, 2012, 168)
Anateisme hadir . Anti God Squad
tidak lain adalah gerakan ateisme baru[5] yang diawaki oleh Richard
Dawkins, Dennet, Hitchens yang menurut Kearney membawa bias kultural kirbat
modernisme yang sudah usang kedalam kristik agama yang bernuansa tunnel vision itu (Kearney, 2012,169). Sedangkan
fundamentalisme beragama tentunya adalah sebuah pengerasan identitas dalam
agama-agama khususnya agama samawi secara khusus dalam semangat hostilitas dan
dan ekskulsivitas yang menempatkan yang berbeda sebagai ancaman pada komunitas
imannya (Kearney,2012,170).
Menurut
Kearney perjumpaan kembali dengan Allah
dalam anateisme menawarkan jalan ketiga didalam perdebatan teis dan ateisme.
Pendekatan ini bersama-sama dengan ateisme menyetujui bahwa Allah triumphalis yang dirumuskan oleh teologi
fundamentalisme adalah Allah yang boleh ada. Ajaran mengena Allah yang rasis,
seksis, dan yang digambarkan sewenang-wenang melemparkan hukuman dan bencana
kepada dunia tidak dapat lagi dipertahankan
(Kearney,2012,168). Dilain pihak pendekatan berteologi modern yang
melepaskan yang sakral dari metanarasi berteologi juga ditolak oleh anateisme.
Upaya-upaya merasionalisasikan pengalaman
relijius menjadi semata-mata sebuah fenomena psikologis dan kultural
adalah sebuah upaya mereduksi yang sakral kedalam ranah empiris adalah reduksi
kepada esensi agama itu sendiri (Kearney,2012,171). Fakta bahwa
agama-agama tidak mati , bahkan menguat
secara kuantitas penganutnya sampai
menjelang akhir hayat modernisme[6], menunjukan bahwa ada
sesuatu yang transenden yang membuat agama tetap bisa hadir. Permasalahannya
ekspresi dan penghayatan seperti apa yang mesti dilakukan dalam memeluk agama
dan memahami agama pasca modern, pasca nihilsme dan tragedi? Didalam
menjawab pertanyaan inilah anatheisme
hadir.
Anateisme
;Iman yang puitis
Ketika argumen theodicy[7] hadir dengan formulasi ontologi untuk
menghadirkan evidensi keberadaan Allah secara metafisika di hadapan realitas kejahatan, dia membawa
Allah makin jauh dari imajinasi agama.
Lagi-lagi ini yang menurut Kearney semakin mengasingkan Allah dari kemanusiaan
( kearney, 2012, 172). Bagi Kearney bahasa kehadiran Allah yang
dihadirkan dalam wajah agama adalah Allah yang dijumpai dalam poetic faith (Kearney,2012,14). Poetic
Faith adalah sebuah formulasi iman yang yang menurut sastrawan Amerika
serikat, Oscar Wilde adalah “ Penyataan
keilahian yang menyatakan diri didalam penderitaan manusia melalui
inkarnasi Yesus Kristus kedalam penderitaan yang dinyatakan secara estetis
dalam bahasa nyeri yang tak terkatakan tanpa seni.”(Critchley,2008,14). Apa
yang hendak dikatakan Oscar Wilde bersama-sama dengan Kearney adalah bahwa agama secara mendasar adalah produk
imajinasi yang memiliki banyak dimensi kebahasaan yang puitis- metaforik
sehingga hanya bisa dipahami dalam kesadaran antropomorphisme[8]. Kesadaran
antropomorphisme mengandaikan bahwa setiap unsur dalam narasi agama berakar
pada anasir dan artefak kebudayaan tertentu, dalam waktu dan wacana tertentu.
Sehingga diluar pemahaman partikularitas tersebut mustahil bahasa agama dapat
dipahami apalagi dihakimi dan diseragamkan dengan ontologi.
Dengan mengatakan bahwa iman kepada Allah
dalam agama adalah iman yang formulasi
utamanya adalah poetic faith dan
pendekatan kepada bahasa iman mesti lahir dari kesadaran partikularitas
antropomorphisme, tidaklah secara naif
menyamaratakan iman kepada Allah
dalam tradisi agama itu setara dengan narasi fiksi. Anateisme menurut Kearney
dikatakan bersifat poetic faith semata-mata karena alusi sastrawi memiliki
semangat yang sama dengan semangat penghayatan kepada Allah dalam agama yaitu
kesediaan untuk menerima sekaligus menegasi semua pernyataan dalam waktu yang
sama dengan kesediaan untuk berimajinasi dan reimanjinasi (Kearney,2012,15).
Dari kesadaran yang sama Karl Barth mengatakan :” Allah senantiasa ya
dan tidak pada waktu yang bersamaan. Dia adalah Bapa dan bukan Bapa pada waktu
yang sama, sebab fiksasi Allah pada satu
istilah adalah penyembahan berhala “(Thompson ,
208,2000).
Iman yang poetic adalah iman yang terintegrasi
didalam narasi metaforik. Metafora
melibatkan transportasi (metaphora)
antara diri dan yang lain didalam copula
is.isn’t (Ricoeur (Ricoeur, 1981,257f). Dengan tepat Kearney mengatakan
:
“ Orang asing dihadapanku adalah Allah (sebagai tamu
transenden) dan pada saat yang bersamaan bukan Allah melainkan layar
proyeksi diri dan preasumsi saya”(Kearney,2012,15). Anateisme memahami bahwa didalam tekanan
inilah iman bertumbuh dan dihayati. Iman
anateisme yang poetic itu berbeda
dengan dogmatis ateisme yang atau
dogmatis teisme . Poetic faith adalah sebuah gerakan untuk menolak
membicarakan secara absolut apa yang absolut;baik secara positif (cataphatic) maupun negatif (apophatic). Iman yang Poetic lahir dari kesadaran bahwa yang absolut itu
tidak dapat dibicarakan oleh satu orang atau satu tradisi agama secara absolut (Kearney,2012,16).
Anateisme
yang puitis sangat menyadari peran ateisme kritis sebagai bagian dari kekuatan
emansipatoris yang menjadi bagian yang integral dalam teisme yang kritis.
Kearney menyebut ateisme “second faith beyond faith”(Kearney,2012,16).
Apa yang ditentang oleh Anateisme yang puitis ini adalah segala bentuk
triumphalisme dan hegemoni keyakinan baik teisme maupun ateisme. Penderitaan
dan segala bentuk pergumulan hidup tidak dapat serta merta begitu saja dianggap
memfalsifikasi kepercayaan kepada Allah, sama seperti segala keteraturan dan
segala hal baik dalam kehidupan tidak begitu saja diterima sebagai semata-mata
berkat dan tanda kehadiran Allah. Poetic
Faith dalam anateisme adalah keterbukaan kepada segala kemungkinan yang
mendahului iman teisme dan ateisme karena keberimanan tidak pernah mengambil
satu pengalaman, kredo, titik tolak dan
menjadikannya formula untuk segalanya. Keberimanan seperti kata seorang
pujangga Austria abad ke-20 Rainer Maria Rilke adalah “sebuah fragmen dalam drama berisi keputusan-keputusan yang berangkat
dari ketidakpercayaan menuju kepada kepercayaan untuk beralih kemudian kepada
ketidakpercayaan atas apa yang sudah ajeg diyakini” (Rilke,1994,76).
Menjumpai
kembali Allah didalam keseharian penderitaan yang tak terhindarkan
Perjumpaan
yang momentumental dengan Allah memang menjadi semacam cara menghayati dan membangun
kembali iman dalam banyak narasi di teks alkitab[9] didalam
pengalaman-pengalaman besar yang tidak biasa. Dari oracle dan berbagai perjumpaan monumental itulah Allah dijumpai .
Tapi bagaimana realitas perjumpaan dengan Allah ini dijumpai dihadapan keseharian,
rutinitas bahkan penderitaan yang tidak terhindarkan, membosankan, stagnan dan
menyakitkan? Dapatkah perjumpaan dengan Allah dihayati disana? Disinilah
Anateisme hadir, yaitu dalam perjumpaan dengan Allah pasca momentum dikala “berbagai hal yang itu-itu saja dan yang
menjengkelkan bahkan menakutkan dialami” (Kearney,2012,57).
Anateisme
bukanlah agama modernis yang merayakan sains sebagai cahaya baru spiritualitas
atau bukan pula sebentuk fundamentalisme baru yang ingin mengembalikan Allah
metafisik kedalam narasi sekuler ini. Anateisme adalah sebentuk pasca teisme
yang mengajak kita mengunjungi kembali yang sakral didalam keseharian yang
sekuler dan yang tidak monumental apalagi yang membuat kita merinding seperti ide
“Mysterium tremendum et fascinans"
Rudolf Otto (Otto,1958,34).
Dalam konteks Indonesia yang penuh dengan
pertumpahan darah dan catatan kelam sejarah pelanggaran hak asasi manusia ini
penulis membayangkan bahwa pengalaman anateisme adalah pengalaman perjumpaan
dengan Allah pasca pulau Buru, pasca Plantungan, dan pasca penjara Bukit Duri
yang dialami para penyintas seperti Lestari [10].
Lestari
yang beragama kristen protestan itu pernah berseru didalam doa yang khusuk saat
menerima siksaan dan deraan sepatu boot tentara agar diringankan rasa nyerinya
oleh Allah. Namun itu itu tidak pernah terjadi. Doa Lestari tidak menghentikan
pukulan, pelecehan seksual bahkan pemerkosaan yang diterimanya selama hampir 8
tahun dari total 11 tahun penahanannya
yang tanpa melalui proses pengadilan itu. Penulis pernah bertanya kepada eyang Lestari ,
bagaimana dia bisa melalui masa-masa sulit itu dan tetap beriman kepada Allah
sekalipun Allah tidak menolongnya. Eyang
Lestari berkata kepada penulis :” Allah tidak perlu membela saya, saya harus
memastikan Allah tidak mati dihati saya agar saya tetap bisa menjalani
pergumulan ini”.
Jawaban
Eyang Lestari yang getir dan cukup mengganggu penulis mengingatkan penulis
kepada iman Anateisme ala Dietrich Boenhoeffer yang menghayati
Allah yang pasca mahakuasa (post omnipotence) itu :
“The God who let us live in
the world without the working hypothesis of God is the God before whom we stand continually. Before God
and with God we live without God.God is weak and powerless in the world and
that is precisely the way, the only way, in which he is with us and helps us.
Matt 8:17 makes it quite clear that Christ helps us, not by the virtue of his
omnipotence, but by virtue of his weakness and suffering “ (Bonhoeffer ,1997,87)
Anateisme
tidak hadir untuk berapologetika soal kehadiran Allah karena kemampuan-Nya
untuk menghindarkan yang getir dari kemanusiaan dan dari pengalaman hidup. Alih-alih
anateisme hadir untuk memberi perspektif baru dalam menjumpai Allah yang tidak
bangkit menolong kita keluar dari kegelapan dan kegetiran hidup secara instan
dan menyangkali pengalaman penderitaan yang nyata dalam hidup, melainkan
memandang penderitaan sebagai bagian dari
orkes polifonik kehidupan dimana didalam berbagai suara-suara sumbang
kehidupan Allah justru dijumpai didalamnya ((Kearney,2012,69) . Didalam Absennya
dan heningnya Allah dalam realitas penderitaannya di penjara wanita di Malang-
Jawa Timur, Eyang Lestari justru menjumpai Allah dalam tradisi protestannya.
Sekali lagi alusi ini mengarahkan kita pada
pernyataan anateisme dihadapan penderitaan yang pernah dikatakan Paul Ricoeur :
“God is dead is nothing to do
with the word ‘God is not exist’ .Its is even the total opposite. This means to
say : The God of religion, of metaphysics and of subjectivity is dead; the
place is vacant for the preaching of the cross and for the God of Jesus Christ”
( Ricoeur ,1994,250)
Dihadapan
Allah metafisika yang mati inilah Allah yang lemah lahir. Allah yang lemah didalam Yesus
Kristus hadir dipusat kehidupan , justru
karena kesadaran akan adanya kerapuhan kehidupan sehingga tiap saat dan
rutinitas kehidupan menjadi bermakna dan berarti (Ricoeur,1994,250). Allah yang
menderita yang hadir didalam inkarnasi diri Yesus Kristus menunjukan bahwa yang
rapuh, yang membosankan dan rutin itulah Allah menyatakan undangannya kepada
kita yang menderita hari ini bahwa Allah mengafirmasi afirmasi kita kepada
realitas penderitaan (Kearney,2012,69).
Beriman kepada Allah anateisme menuntun kita untuk menolak sikap
nihilistik kaum modern kepada penderitaan, atau sikap mengagungkan penderitaan
dengan semangat masochisme seperti kaum mistik. Iman anateisme mengafirmasi keluhan dan perasaan sakit bersalin besama dengan
segala mahluk didunia ini didalam kesadaran bahwa didalam keluhan inilah
perjumpaan dengan Allah dialami.
Sebuah
usulan untuk perjumpaan kembali dengan Allah:spiritualitas sehari-hari
Charles
Sabatino [11]
dan Barbara Taylor[12] memberi kita sebuah
pendaratan bagi penghayatan kepada Allah
anateisme dalam spiritualitas sehari-hari. Keseharian dan rutinitas
adalah cara berjumpa dengan Allah.
Keseharian dan rutinitas adalah sebuah sakramen dalam kerangka anateisme (Sabatino, Volume 25 / Issue 01 / Spring 1998).
Sakramen yang dalam teologi kristen dipahami sebagai “ tanda eksternal dari anugerah
spiritual dan bersifat internal” ternyata bukan hanya ada didalam ritual
gerejawi saja (Taylor, July-September 2003).
Taylor dengan lugas berkata :
God's activity is not limited
to two, seven or even seventy-times-seven such rites. Instead, I learned, the
sacraments I practiced in church were patterns of "countless ways"
that God uses material things to reach out to human beings in the world.
Countless ways? Based on this surprising revelation, I set out on a search for
everyday sacraments and it was not long before I found them everywhere. The same pattern of rebirth that I learned in
baptism showed up in everything from bathing to watering plants. The same
pattern of relationship that I learned in communion was available in every meal
eaten mindfully. The laying-on of hands took place as I held a crying baby or
rubbed the shoulders of a tired friend. With a little oil, I could even offer
the sacrament of a pretty good massage. When I walked outside and looked at the
smoking compost heap, I saw a sacrament of death turning into life. When I used
my little bottle of white-out to correct a mistake, I remembered that my errors
did not have to be permanent. Everywhere
I turned, the most insignificant things in the world were preaching little
sermons to me. Everywhere I turned, the world was leaking light.” (Taylor, July-September 2003).
Kesadaran
sakramental inilah yang menafaskan perjumpaan dengan Allah yang hidup didalam
anateisme. Makan, minum, berjalan, bertemu muka dengan tetangga, menyapa, dan
berbagai rutinitas lainnya adalah tanda bahwa kita adalah mahluk yang perlu
berelasi dengan dunia diluar diri kita untuk mengada. Pengalaman mengada ini
dihadirkan dalam keterbukaan kita akan dunia baik biologis,politis,seksual,
maupun sosiologis. Keterbukaan ini dalam kerangka penghayatan anateisme adalah
cara Allah sang pemilik dan sumber kehidupan itu dijumpai (Kearney,2012,152).
Yang sakral itu dijumpai didalam dunia
meskipun pada saat yang sama Dia yang kudus itu bukan dari dunia. Hal ini meneguhkan apa yang sebelumnya oleh Edward Schillebeeckx , seorang teolog katolik
abad 20 dari Belgia bahwa “tidak ada keselamatan diluar dunia( Extra mundum nulla salus)”
(Schillebeeckx,1960,321). Schillebeeckx
menandaskan bahwa : “the creative and
saving presence of God's grace" becomes manifest "wherever human
persons minister to one another, especially to the neighbor in need. Human love
is an embodiment, a sacrament, of God's love." He called these experiences
"fragments of salvation"(Schillebeeckx,1987,188).
Pengalaman
berjumpa kembali dengan Allah dalam Anateisme adalah sebuah sikap menubuh dan
melebur dalam berbagai pengalaman keseharian hidup yang jauh dari peristiwa monumental kepada
Allah maka hal tersebut memiliki nilai sakramental.
Penutup
Percakapan
mengenai Allah dan masalah kejahatan menjadi issue yang menghangat diawal
milenium ketiga ini ketiga identitas keagamaan semakin menguat seiring dengan
tragedi 9/11 diawal abad 21 ini.
Penjelasan ontoteologis dan metafisik dalam theodicy
sudah tidak memadai dimasa post struturalis
ini untuk menjelaskan masalah kejahatan.
Anateisme hadir untuk menawarkan detour
hermenetika ditengah ketegangan kebangkitan fundamentalisme beragama dan
kebangkitan ateisme baru yang semakin mengental belakangan ini.
Allah
Anateisme adalah Allah yang dijumpai didalam penderitaan.
Allah anateisme bukanlah Allah utopia dan metafisik yang
menawarkan pembebasan penderitaan dengan memberi janji eskatologis
kedalam dunia lain ditempat imajiner bernama surga.
Allah yang
didipahami dalam anateisme adalah Allah yang dijumpai didalam penderitaan
ditengah dunia ini . Allah yang memberi
kekuatan melawan dan bangkit melawan tirani yang merusak dunia milik Allah
sendiri dan berkabung bersama Allah didalam keluhan-keluhan yang tak
terucapkan. Dalam konteks menjalani
hidup di Indonesia yang dipenuhi oleh sejarah kekerasan, genosida dan berbagai
macam pelanggaran Hak Asasi Manusia perspektif Anateisme menawarkan
wacana baru untuk berteologi secara
konstruktif dan secara pastoral
ditengah Indonesia yang sedang bergumul dan menyelesaikan berbagai konflik horizontal dan vertikal dimasa lalu,
pengerasan identitas suku dan keagamaan. Penulis meyakini bahwa wacana ini
perlu dikaji secara kritis dan mendalam dalam untuk digumuli lebih lanjut dalam
perziarahan beriman dan berteologi di Indonesia.
Daftar
pustaka
Bonhoeffer, Dietrich. Letter and Paper from Prison.
Touchstone, 1997.
cahayapengharapan.
2014. http://www.cahayapengharapan.org/artikel/texts/iman_dan_keraguan.htm
diakses .
Critchley, Simon. The Book of Dead Philosopher. Granta
Books, 2008.
etymonline. 2014.
http://www.etymonline.com/index.php?search=anthropomorphism&searchmode=none.
Kearney, Richard. Anatheism. Columbia University
Press, 2012.
Otto, Rudolf. The Idea Of The Holy. Oxford University
Press; 2 edition , 1958.
palingaktual.com.
December 29, 2014.
http://palingaktual.com/1311972/eyang-lestari-bekas-tapol-1965-berpulang/read/
(accessed December 29, 2014).
Ricoeur, Paul. In the Conflict of Interpretations
(Socialanalytik). Aarhus University Press, 1994.
—. The Rule of Metaphore. University of Toronto Press
, 1981.
Rilke, Rainer Maria. Rilke on Love and Other Difficulties.
W. W. Norton & Company , 1994.
Sabatino, Charles. "Experiencing The Everyday World as
Grace." Horizons , Volume 25 / Issue 01 / Spring 1998: 84-94.
Schillebeeckx, Edward. Christ the Sacrament of Encounter
with God. Sheed & Ward, 1987.
Taylor, Barbara Brown. "Everyday Sacrament." Living
Pulpit, July-September 2003: 13-15.
Thompson, Geoff. Karl Barth: A Future for Postmodern
Theology? Australian Theological Forum, 2000.
Yancey, Phillip. Where is God when it's Hurt.
Zondervan, 1997.
[1] Ontoteologi berasal dari kata Ontology yang berati kajian mengenai
keberadaan yang adalah cabang dari metafisika, dan kata theology atau kajian tentang Allah. Secara umum Ontotheology adalah
usaha merumuskan keberadaan Allah dalam term-term metafisika modern dari era
Immanuel Kant sampai dengan Martin Heiddeger. Lebih lanjut dapat dilihat di
buku Ian D. Thomson.Heidegger on Ontotheology: Technology and the Politics of Education,
Cambridge University Press , 2005, 34.
[3] http://www.cahayapengharapan.org/artikel/texts/iman_dan_keraguan.htm
diakses 20 desember 2014
[4] Anateisme berasal dari kata ana yang artinya kembali, dan teisme
yang berarti kepercayaan kepada Allah. Anateisme
adalah sebuah term yang dibuat oleh Filsuf
dari Boston University Richard Kearney dalam buku yang ditulisnya dengan
judul Anatheism pada tahun 2012 untuk
merujuk kepada pengalaman perjumpaan kembali dengan Allah pasca ontotheologi.
[5] Gerakan ateisme baru (new atheist) adalah gerakan yang populer
di dekade 2000-an . Simon Hooper seorang peneliti kebudayaan di kantor berita CNN
(Cable News Network)mengatakan New
Atheism is a social and political movement in favour of atheism and secularism
promoted by a collection of modern atheist writers who have advocated the view
that "religion should not simply be tolerated but should be countered,
criticized, and exposed by rational argument wherever its influence arises.
Artikel lebih lengkap dapat diakses http://edition.cnn.com/2006/WORLD/europe/11/08/atheism.feature/index.html
[6] Pew research forum, sebuah lembaga riset
agama dan kebudayaan di Amerika serikat membuat pengumuman hasil riset yang
mencengangkan di bulan aril tahun 2014 ini. Riset itu mengatakan :
“A comprehensive demographic study of
more than 200 countries finds that there are 2.18 billion Christians of all
ages around the world, representing nearly a third of the estimated 2010 global
population of 6.9 billion. Christians are also geographically widespread – so
far-flung, in fact, that no single continent or region can indisputably claim
to be the center of global Christianity.
A century ago, this was not the case. In
1910, about two-thirds of the world’s Christians lived in Europe, where the
bulk of Christians had been for a millennium, according to historical estimates
by the Center for the Study of Global Christianity.2 Today, only about a
quarter of all Christians live in Europe (26%). A plurality – more than a third
– now are in the Americas (37%). About one in every four Christians lives in
sub-Saharan Africa (24%), and about one-in-eight is found in Asia and the
Pacific (13%).” http://www.pewforum.org/2011/12/19/global-christianity-exec/ Diakses pada 20 desember 2014.
[7] Menurut John Hicks secara umum argumen theodicy dalam tradisi kristen dibagi menjadi dua
pendekatan. Yang pertama adalah pendekatan Agustinian dan pendekatan Irenian.
Bagi sistem theodicy Agustinian semua bentuk penderitaan dan bencana berujung
pangkal dari peristiwa kejatuhan dalam dosa yang dilakukan manusia pertama
(adam dan hawa) di taman Eden. Dari pemberontakan manusia pertama di taman Eden
inilah segala macam penderitaan, kematian, kerusakan dan kemalangan masuk
kedalam dunia.Sehingga dimakannya buah pengetahuan yang baik dan jahat adalah
katastrofi kosmik, bukan karena Allah adalah penyebab adanya penderitaan .
Sedangkan bagi pendekatan Irenian memiliki perspektif yang berbeda dengan
kontras. Bagi pendekatan Theodicy Irenian peristiwa jatuhnya
manusia pertama kedalam dosa di taman Eden adalah sebuah hal yang wajar,
manusiawi karena itulah hakekat dari manusia yaitu mahluk yang penuh rasa ingin
tahu. Justru dari peristiwa ini manusia bisa belajar konsekuensi dari
tindakannya. Peristiwa ditaman Eden, bagi Irenian bukanlah sebuah bencana
karena pada hakekatnya dunia yang tercipta hanya bisa bermoral jika ada
gabungan antara jahat dan baik. Adanya kejahatan merupakan konsekuensi logis
adanya kebaikan.Bandingkan dengan Hicks,John. Evil and The God of Love, Palgrave Macmillan; Reissue edition
,2010, 121-122.
[8] Kata
anthropomorphisme pertama kali digunakan pada tahun 1700 didunia
literatur. Kata Antropomorphisme berasal dari kata ἄνθρωπος (ánthrōpos), "manusia ",
dan μορφή (morphē), yang berarti “rupa”,
“Citra”. Lihat penjelasan lebih lanjut di http://www.etymonline.com/index.php?search=anthropomorphism&searchmode=none
diakses 20 desember 2014.
[9] Narasi-narasi dalam teks alkitab
perjanjian lama misalnya menggambarkan begitu banyak perjumpaan yang bersifat monumental dengan Allah misalnya perjumpaan
Abraham dengan Allah melalui oracle (perkataan Ilahi) dalam teks Kejadian 12:1-3,
Peristiwa perjumpaan Abraham dengan tiga malaikat di Mamre ( Kejadian 18:1-8)
dan lain sebagainya.
[10] Pulau Buru,Plantungan-Kendal, Penjara
Bukit Duri-Jakarta adalah ikon-ikon penyiksaan yang dialami oleh orang-orang
yang menjadi pendukung politik Soekarno
dan eksponen PKI dan organ-organnya pada dekade 1970-1990 akhir. Eyang
Lestari adalah salah satu dari sekian juta orang yang ditahan di penjara malang
jawa timur selama 11 tahun tanpa
diadili. Lestari pertama kali bergabung dengan pengurus Gerakan Wanita
Indonesia (Gerwani) di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Saat itu usianya baru
20 tahun. Dia sempat menjadi Ketua Cabang Bojonegoro. Lalu karena dianggap
berprestasi, dia kemudian ditarik menjadi pengurus tingkat provinsi di
Surabaya, Jawa Timur. Di sinilah dia kemudian menikah dengan Suwandi, Ketua
Comite Daerah Besar (CDB) Partai Komunis Indonesia (PKI). Tibalah September
kelam tahun 1965 itu. Lestari tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba semuanya
berubah drastis. Anggota PKI, Gerwani, Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia,
dan semua underbouw PKI diburu. Mereka semua dituduh terlibat pembunuhan para
jenderal di Lubang Buaya."Padahal kami tidak tahu apa yang sesungguhnya
terjadi. Suami saya masuk daftar orang yang paling banyak dicari. Dia kan orang
PKI nomor satu di Jawa Timur," jelas Lestari.
Lestari
lari dari Surabaya. Hidupnya berpindah-pindah untuk menghindari kejaran tentara
dan massa anti-PKI. Suasana di Jawa Timur dan Jawa Tengah panas. Lestari ingat
saudaranya lurah di Nganjuk, Jawa Timur tewas dibantai tanpa pengadilan. Hanya
karena dicap PKI.
Akhirnya
para pelarian PKI berkumpul di Blitar Selatan. Di sini, Lestari tinggal selama
dua tahun. Dia menggambarkan Blitar saat itu masih sangat terbelakang. Kondisi
hutan dan gua di sana dianggap ideal untuk pelarian.Tentara kemudian menggelar
operasi Trisula untuk mengejar pelarian PKI di Blitar Selatan. Operasi gabungan
ini berhasil menghabisi dan menangkap para anggota PKI yang tersisa. Lestari
dan suaminya tertangkap tahun 1968 saat bersembunyi di dalam gua.
Lestari
lalu dibawa ke tahanan wanita di Malang. Dia tidak pernah diadili. Tapi ditahan
selama 11 tahun dalam penjara di Malang. Dia baru bebas tahun 1979. Sementara
suaminya akhirnya meninggal dunia tahun 1984 di penjara. Lestari sendiri
akhirnya meninggal dunia tanpa mendapatkan rehabilitasi dan restitusi pada 28
Desember 2014. Sumber http://palingaktual.com/1311972/eyang-lestari-bekas-tapol-1965-berpulang/read/
Diakses 29 Desember 2014.
[11] Charles Sabatino adalah associate
Professor filsafat pada departemen
Filsafat di Daemen College ,Amherst New York,Amerika Serikat.
[12] Barbara Taylor adalah seorang imam
wanita dari gereja episkopal Amerika Serikat . Pada tahun 2014 lalu Majalah
Time memasukannya dalam daftar 100 orang paling berpengaruh didunia.
http://en.wikipedia.org/wiki/Barbara_Brown_Taylor#cite_note-time-3. Diakses 29
Desember 2014.
Langganan:
Postingan (Atom)