Selasa, 25 Agustus 2015

menghadapi "kok bisa begitu?!"

Ada yang menarik dari percakapan yang tak sengaja saya dengar dari pembicaraan tadi pagi disebuah kedai kopi swalayan berwaralaba dari Jepang . Percakapan itu adalah percakapan dua arah di telepon. Saya tidak bisa mendengar apa yang dikatakan si lawan bicara perempuan muda yuppies pertengahan usia 20-an itu dengan lawan bicaranya, tapi saya mendapati kesan bahwa sang perempuan berkata "aku gak sangka kamu kok begitu", kamu kok bisa serumit itu,aku  gagal paham..!" Sambil mematikan rokok kretek berfilter- perempuan muda ini masuk kedalam ruangan swalayan berpendingin udara itu.

Dari intensitas kata dan diksi yang lugas khas kelas menengah Jakarta, saya asumsikan ini adalah percakapan antara sahabat karib. Potongan percakapan itu seolah menjadi pengingat bagi saya bahwa pengalaman menghadapi kebingungan dan kerumitan juga adalah sesuatu yang pernah saya alami dalam relasi-relasi saya dengan orang-orang terdekat. Karib,  pasangan ,kenalan dan sahabat yang kita pikir sudah  begitu dekat kita kenal, dapat menunjukan anomali ;ifat-sifat yang mengejutkan kita.   Yang biasanya begitu bertanggung jawab, tiba-tiba menimbulkan sikap impulsif . Yang lazimnya tampil penuh kalkulasi tiba-tiba melakukan hal yang fatal. Yang beriman tiba-tiba menjadi skeptis. Yang biasanya penuh penguasaan diri tiba-tiba menampilkan dirinya sebagai pemberang.

Manusia  adalah mamalia dengan refleks reptil jikalau berhadapan dengan anomali kata para pakar sosiologi evolusioner. Respons kita terhadap yang asing dan berbeda menggoda kita untuk mengeluarkan respons binari: tempur atau kabur. Dalam urusan relasi dengan orang-orang terdekat yang menunjukan anomali hal ini rupanya berlaku.  Kita marah, kita melawan, bahkan menghindari orang-orang dan kerabat yang menunjukan sisi yang bisa mengiritasi kita. Kita kecewa dan meninggalkan mereka, karena merasa mereka sudah berubah. mengutip  judul lagu Dewi Yull yang pernah diparodikan Padhyangan Project yang sering saya dengan beberapa tahun lalu di warung indomie :"kau bukan dirimu lagi". Kau bukan dirimu yang dulu saya pernah kenal. Itu sebabnya kini kau adalah orang asing, dan saya perlu kabur atau bertempur melawanmu.
 Tapi apakah hanya itu saja respons terbaik kita menghadapi keunikan karakter dan kejutan-kejutan dari sikap anomali sahabat kita?

Saya rasa kita perlu mempertimbangkan apa yang dikatakan Julia Kristeva, seorang filsuf dan psikoanalis  Bulgaria .  Dalam bukunya  strangers to ourself ,Kristeva mengingatkan bahwa perjumpaan dengan yang asing dalam wajah sesama kita adalah tanda bahwa sesama kita adalah sebuah misteri yang tidak bisa kita ikat dalam semata-mata kategori sosial politik semata.  Si Polan bukanlah semata-mata orang batak dan kristen saja. Tapi dia juga adalah penggemar indomie goreng( Anda tak pernah tahu bagaimana kegemaran pada makanan ini membentuk ide-ide tentang ketidamungkinan kata Arman Dani hehe).  Ada yang subtil dari apa yang tidak terkategorikan.

 Kristeva menambahkan  bahwa " ketakutan dan keterkejutan kita terhadap hal asing yang ditunjukan sesama kita adalah karena kita mengesensialkan, atau memasukan sesama kita dalam kategori-kategori imajiner. Kita melihat sesama kita sebagai objek abstrak, bukan sebagai manusia yang multi narasi dan kompleks. 
maka itu mungkinkah godaan lain dari persahabatan kata seorang teman adalah "keakraban yang menghegemoni". Apa maksudnya? Maksudnya adalah karena kita merasa sudah akrab dan karib, kita lantas berasumsi kita sudah mengenalnya luar dalam. Kita merasa kita sudah dapat menakar kawan kita dalam rumusan dan kategori-kategori pertimbangan kita. Dan yang mengejutkan menurut Kristeva, hal ini lahir dari kecenderungan kita untuk menolak sisi asing dalam diri kita. Kita terobsesi dengan integritas. Keutuhan subjek. Padahal manusia sebagai subjek tidaklah pernah menjadi sesuatu yang dua dimensi. Sang diri dengan segala luka, patah hati, kesepian, kecewa dan kebetean nya adalah diri yang berlapis-lapis dan beragam. Singkatnya : Ada yang asing didalam diri kita yang kita pun akan terkejut kalau menjumpainya. Kebingungan yang menggema dalam diri setiap orang, termasuk saint Paul sejak curcol (curhat colongan)nya di magnus opus teologinya "Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat  , tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat.  -Roma 7 :15.

Itu sebabnya mungkin langkah sebelum kita menangani keterkejutankita menghadapi anomali yang ditampilkan dalam wajah pasangan, kawan karib atau sahabat, kita perlu berurusan dan berdamai dengan beragam keanehan dan keunikan serta keretakan kita. Sang diri yang tidak pernah utuh selalu terfragmentasi ini adalah pergumulan kita. Saya rasa ini cikal bakal pengharapan kita . Mungkin,,

 Saat menulis ini saya dikejutan oleh ledakan tawa. Ooh perempuan  yuppies itu sekarang kok ketawa-ketawa lagi, sambil menyalakan batang kesekian dari rokok kreteknya..tapi kali ini dia ditemani dengan secangkir teh di gelas karton.. Ah jangan-jangan saya sedang menghegemoni dan mengesensialisasi pengalaman dia lewat fenomena dangkal semata..



Kamis, 25 Juni 2015

kembali pada yang biasa.

Begitu banyak yang harus dikerjakan, Tuntunan didalam pelayanan gereja, organisasi, dan rumah tangga,olahraga ,berlibur dan sekelumit hal-hal yang sebetulnya remeh tapi tidak serta merta menjadi temeh.
Beginilah cara hidup menyeret kita kepusaran. Semua hal seolah berteriak "aku penting" dan karenanya menuntut kita meluangkan lebih banyak waktu dan tenaga untuk berurusan dengannya.

Beberapa tahun lalu diawal mengawali karir sebagai pendeta, saya berpikir bahwa pelayanan yang baik adalah pelayanan yangsibuk sepanjang jam dan hari kerja. Jadi saya terus membuat diri saya lebih sibuk, lebih terokupasi dengan konseling, kunjungan, membaca banyak buku yang relevan maupun yang tidak terlalu relevan dengan kehidupan saya. Dengan asumsi" suatu saat mungkin saya membutuhkan pengetahuan soal hal ini".

 Ditengah-tengah segala hiruk piku itulah saya mulai tergelayuti oleh keletihan yang datang bagaikan seorang pengawas pabrik ditengah saat-saat santai. Sungguh menurut saya "tidak pantas saya merasa letih,karena saya belum berbuat banyak" begitu ujar superegoku.
Tapi dorongan superego mesti mengalah pada id yang adalah representasi dari realitas kehidupan saya.
Setelah 5 tahun terlibat dalam dunia pelayanan pastoral yang konon kata Billy Graham " berpotensi merusak kesehatan fisik dan mental " saya merasa inilah saatnya saya memiliki ruang pengendapan pemikiran, ide, keresahan dan pertanyaan.  Saya belajar bahwa mengikuti mimpi dan hasrat sering membawa saya ketempat yang menyusahkan dan jauh dari kepuasan. Saya putuskan : saya  mau mulai mengikuti pertanyaan dan keresahan saya alih-alih mimpi saya yang mungkin saja sudah dibajak mimpi kolektif  kelas menengah ngehe Jakarta.

Mudah-mudahan blog ini jadi langkah kuratif dan pembaharuan roh saya. Semoga.

Anateisme: Berilah Allah kesempatan lagi..





“Jika ada Allah yang maha kuasa dan baik mengapa didunia ini ada kejahatan yang banal ?  “Saya menolak pecaya kepada Allah yang mampu tapi tidak mau mencegah datangnya kejahatan yang menimpa anak saya”, Sahut seorang ibu penyintas kasus pemerkosaan yang menimpa anak gadisnya yang berusia 9 tahun. “Jika ada Allah yang maha kuasa dan maha baik mengapa Dia merenggut hidup saya yang sedang dalam proses pengabdian menjadi seorang imam  dengan  memberikan saya penyakit HIV?” Pernyataan-pernyataan ini adalah pernyataan yang didengar oleh penulis selaku pendeta jemaat lokal dalam beberapa sesi konseling pastoral yang alot. Pernyataan-pernyataan gamblang ini terdengar provokatif namun disisi lain terasa getir dan apa adanya. 
Pergumulan hidup  dan  penderitaan adalah sebuah palu yang menghantam bukan saja  emosi tapi juga cara berpikir dan beriman. Dan penjelasan-penjelasan ontoteologis soal keberadaan Allah dihadapan penderitaan menurut pengalaman penulis tidak banyak membantu. Phillip Yancey didalam buku Where is God When it Hurt?  Berkata :
I have mentioned that no one offers the name of a philosopher when I ask the question, “Who helped you most?” Most often they answer by describing a quiet, unassuming person. Someone who was there whenever needed, who listened more than talked, who didn’t keep glancing down at a watch, who hugged and touched, and cried. In short, someone who was available, and came on the sufferer’s terms and not their own.” (Yancey , 1997, 4) 
Yang diperlukan bagi penyintas menurut Yancey adalah semacam pendampingan yang setia disamping orang yang menderita. Tapi Yancey kemudian mengatakan bahwa diperlukan penjelasan lain yang melampaui ontoteologi Heiddegerian dam Kantian[1] untuk menjelaskan  relasi antara Allah yang ada dengan realitas kejahatan. Sebentuk penjelasan yang segar yang didasarkan atas perjumpaan dengan Allah dalam perspektif yang baru perlu dilakukan[2] (Yancey,1997,43) .
Dengan Puitis  Yancey menyampaikan kembali hal itu dalam wawancaranya dengan majalah Christianity today yang dikutip dan diterjemahkan oleh laman cahayapengharapan.org demikian :
Saya sudah belajar untuk melihat pada kontak yang lebih tersembunyi di antara dunia yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Saya merasakan di dalam cinta romantis sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan daya tarik biokimia. Saya merasakan di dalam alam dan keindahannya tanda-tanda seorang pencipta yang genius yang secara natural memancing respon dari saya. Saya merasakan di dalam keinginan, termasuk berahi seksual, tanda-tanda yang kudus mendambakan kontak. Saya merasakan di dalam belas kasih, kemurahan, keadilan dan pengampunan suatu kualitas kasih karunia yang berbicara kepada saya tentang dunia yang lain, terutamanya di tempat-tempat yang saya kunjungi, seperti Rusia, di mana semua hal itu telah terhilang. Singkat kata, saya percaya bukan karena dunia yang tidak kasat mata itu dengan lantang berbicara tapi karena dunia yang kasat mata ini membisikkan akan suatu ketidak-lengkapan.[3]

  Allah  diluar theodicy ?
Ketidaklengkapan, absennya kebaikan dan berbagai hal yang meresahkan Yancey mengenai urgensi perjumpaan kembali dengan Allah diluar ontoteologi dan theodicy  tidak pernah benar-benar diartikulasikan olehnya. Itu sebabnya menurut penulis, kita perlu menengok kepada pemikiran  Richard Kearney  perjumpaan anateisme[4]; perjumpaan kembali dengan Allah, setelah nihilisme yang dibawa oleh masa sekularisme pencerahan (Kearney2012,166). Anateisme tidak menawarkan proposal baru untuk Tuhan yang baru, agama baru, atau dogmatika baru. Alih-alih anateisme adalah sebuah proposal untuk menjumpai Allah kembali lewat cara-cara  yang sudah ada dan menubuh didalam kebudayaan, agama, dan masyarakat yang terabaikan dialam pendekatan berteologi modern (Kearney ,2012,167).
Ditengah kebangkitan fundamentalisme  beragama dan fundamentalisme ateisme dalam apa yang disebut Kearney sebagai Anti God Squad (Kearney, 2012, 168) Anateisme hadir . Anti God Squad tidak lain adalah   gerakan ateisme baru[5] yang diawaki oleh Richard Dawkins, Dennet, Hitchens yang menurut Kearney membawa bias kultural kirbat modernisme yang sudah usang kedalam kristik agama yang bernuansa tunnel vision  itu (Kearney, 2012,169). Sedangkan fundamentalisme beragama tentunya adalah sebuah pengerasan identitas dalam agama-agama khususnya agama samawi secara khusus dalam semangat hostilitas dan dan ekskulsivitas yang menempatkan yang berbeda sebagai ancaman pada komunitas imannya (Kearney,2012,170).
Menurut Kearney   perjumpaan kembali dengan Allah dalam anateisme menawarkan jalan ketiga didalam perdebatan teis dan ateisme. Pendekatan ini bersama-sama dengan ateisme menyetujui bahwa Allah triumphalis yang dirumuskan oleh teologi fundamentalisme adalah Allah yang boleh ada. Ajaran mengena Allah yang rasis, seksis, dan yang digambarkan sewenang-wenang melemparkan hukuman dan bencana kepada dunia tidak dapat lagi dipertahankan  (Kearney,2012,168). Dilain pihak pendekatan berteologi modern yang melepaskan yang sakral dari metanarasi berteologi juga ditolak oleh anateisme. Upaya-upaya merasionalisasikan pengalaman  relijius menjadi semata-mata sebuah fenomena psikologis dan kultural adalah sebuah upaya mereduksi yang sakral kedalam ranah empiris adalah reduksi kepada esensi agama itu sendiri (Kearney,2012,171). Fakta bahwa agama-agama  tidak mati , bahkan menguat secara kuantitas penganutnya  sampai menjelang akhir hayat modernisme[6], menunjukan bahwa ada sesuatu yang transenden yang membuat agama tetap bisa hadir. Permasalahannya ekspresi dan penghayatan seperti apa yang mesti dilakukan dalam memeluk agama dan memahami agama pasca modern, pasca nihilsme dan tragedi? Didalam menjawab  pertanyaan inilah anatheisme hadir.

Anateisme ;Iman yang puitis
Ketika argumen theodicy[7]  hadir dengan formulasi ontologi untuk menghadirkan evidensi keberadaan Allah secara metafisika  di hadapan realitas kejahatan, dia membawa Allah makin jauh dari  imajinasi agama. Lagi-lagi ini yang menurut Kearney semakin mengasingkan Allah dari kemanusiaan ( kearney, 2012, 172).   Bagi Kearney bahasa kehadiran Allah yang dihadirkan dalam wajah agama adalah Allah yang dijumpai dalam poetic faith (Kearney,2012,14).  Poetic Faith adalah sebuah formulasi iman yang yang menurut sastrawan Amerika serikat, Oscar Wilde adalah “ Penyataan  keilahian yang menyatakan diri didalam penderitaan manusia melalui inkarnasi Yesus Kristus kedalam penderitaan yang dinyatakan secara estetis dalam bahasa nyeri yang tak terkatakan tanpa seni.”(Critchley,2008,14). Apa yang hendak dikatakan Oscar Wilde bersama-sama dengan Kearney adalah  bahwa agama secara mendasar adalah produk imajinasi yang memiliki banyak dimensi kebahasaan yang puitis- metaforik sehingga hanya bisa dipahami dalam kesadaran antropomorphisme[8]. Kesadaran antropomorphisme mengandaikan bahwa setiap unsur dalam narasi agama berakar pada anasir dan artefak kebudayaan tertentu, dalam waktu dan wacana tertentu. Sehingga diluar pemahaman partikularitas tersebut mustahil bahasa agama dapat dipahami apalagi dihakimi dan diseragamkan dengan ontologi.
 Dengan mengatakan bahwa iman kepada Allah dalam agama  adalah iman yang formulasi utamanya adalah poetic faith dan pendekatan kepada bahasa iman mesti lahir dari kesadaran partikularitas antropomorphisme, tidaklah secara naif  menyamaratakan  iman kepada Allah dalam tradisi agama itu setara dengan narasi fiksi. Anateisme menurut Kearney dikatakan bersifat poetic faith  semata-mata karena alusi sastrawi memiliki semangat yang sama dengan semangat penghayatan kepada Allah dalam agama yaitu kesediaan untuk menerima sekaligus menegasi semua pernyataan dalam waktu yang sama dengan kesediaan untuk berimajinasi dan reimanjinasi (Kearney,2012,15). Dari kesadaran yang sama   Karl Barth mengatakan :” Allah senantiasa ya dan tidak pada waktu yang bersamaan. Dia adalah Bapa dan bukan Bapa pada waktu yang sama, sebab fiksasi  Allah pada satu istilah adalah penyembahan berhala “(Thompson , 208,2000).
Iman yang poetic adalah iman yang terintegrasi didalam narasi metaforik.  Metafora melibatkan transportasi (metaphora) antara diri dan yang lain didalam copula is.isn’t (Ricoeur (Ricoeur, 1981,257f). Dengan tepat Kearney mengatakan :
Orang asing dihadapanku adalah Allah (sebagai tamu transenden) dan pada saat yang bersamaan bukan Allah melainkan layar proyeksi  diri dan preasumsi  saya”(Kearney,2012,15).     Anateisme memahami bahwa didalam tekanan inilah iman bertumbuh dan dihayati.  Iman anateisme yang poetic itu berbeda dengan dogmatis ateisme yang  atau dogmatis teisme . Poetic faith  adalah sebuah gerakan untuk menolak membicarakan secara absolut apa yang absolut;baik secara positif (cataphatic) maupun negatif (apophatic). Iman yang Poetic   lahir dari kesadaran bahwa yang absolut itu tidak dapat dibicarakan oleh satu orang atau satu tradisi agama  secara absolut (Kearney,2012,16). 
Anateisme yang puitis sangat menyadari peran ateisme kritis sebagai bagian dari kekuatan emansipatoris yang menjadi bagian yang integral dalam teisme yang kritis. Kearney menyebut ateisme  “second faith beyond faith”(Kearney,2012,16). Apa yang ditentang oleh Anateisme yang puitis ini adalah segala bentuk triumphalisme dan hegemoni keyakinan baik teisme maupun ateisme.  Penderitaan dan segala bentuk pergumulan hidup tidak dapat serta merta begitu saja dianggap memfalsifikasi kepercayaan kepada Allah, sama seperti segala keteraturan dan segala hal baik dalam kehidupan tidak begitu saja diterima sebagai semata-mata berkat dan tanda kehadiran Allah. Poetic Faith dalam anateisme adalah keterbukaan kepada segala kemungkinan yang mendahului iman teisme dan ateisme karena keberimanan tidak pernah mengambil satu pengalaman, kredo, titik tolak  dan menjadikannya formula untuk segalanya. Keberimanan seperti kata seorang pujangga Austria abad ke-20 Rainer Maria Rilke adalah “sebuah  fragmen dalam drama  berisi keputusan-keputusan yang berangkat dari ketidakpercayaan menuju kepada kepercayaan untuk beralih kemudian kepada ketidakpercayaan atas apa yang sudah ajeg diyakini” (Rilke,1994,76).
  

Menjumpai kembali Allah didalam keseharian penderitaan yang tak terhindarkan
Perjumpaan yang momentumental dengan Allah memang menjadi semacam cara menghayati dan membangun kembali iman dalam banyak narasi di teks alkitab[9] didalam pengalaman-pengalaman besar yang tidak biasa. Dari oracle dan berbagai perjumpaan monumental itulah Allah dijumpai . Tapi bagaimana realitas perjumpaan dengan Allah ini dijumpai dihadapan keseharian, rutinitas bahkan penderitaan yang tidak terhindarkan, membosankan, stagnan dan menyakitkan? Dapatkah perjumpaan dengan Allah dihayati disana? Disinilah Anateisme hadir, yaitu dalam perjumpaan dengan Allah pasca momentum dikala  “berbagai hal yang itu-itu saja dan yang menjengkelkan bahkan menakutkan dialami” (Kearney,2012,57).
Anateisme bukanlah agama modernis yang merayakan sains sebagai cahaya baru spiritualitas atau bukan pula sebentuk fundamentalisme baru yang ingin mengembalikan Allah metafisik kedalam narasi sekuler ini. Anateisme adalah sebentuk pasca teisme yang mengajak kita mengunjungi kembali yang sakral didalam keseharian yang sekuler dan yang tidak monumental apalagi yang membuat kita merinding seperti ide “Mysterium tremendum et fascinans"   Rudolf Otto  (Otto,1958,34).
  Dalam konteks Indonesia yang penuh dengan pertumpahan darah dan catatan kelam sejarah pelanggaran hak asasi manusia ini penulis membayangkan bahwa pengalaman anateisme adalah pengalaman perjumpaan dengan Allah pasca pulau Buru, pasca Plantungan, dan pasca penjara Bukit Duri yang dialami para penyintas seperti Lestari [10].
Lestari yang beragama kristen protestan itu pernah berseru didalam doa yang khusuk saat menerima siksaan dan deraan sepatu boot tentara agar diringankan rasa nyerinya oleh Allah. Namun itu itu tidak pernah terjadi. Doa Lestari tidak menghentikan pukulan, pelecehan seksual bahkan pemerkosaan yang diterimanya selama hampir 8 tahun dari  total 11 tahun penahanannya yang tanpa melalui proses pengadilan itu.  Penulis pernah bertanya kepada eyang Lestari , bagaimana dia bisa melalui masa-masa sulit itu dan tetap beriman kepada Allah sekalipun Allah tidak menolongnya.  Eyang Lestari berkata kepada penulis :” Allah tidak perlu membela saya, saya harus memastikan Allah tidak mati dihati saya agar saya tetap bisa menjalani pergumulan ini”.
Jawaban Eyang Lestari yang getir dan cukup mengganggu penulis mengingatkan penulis kepada iman Anateisme  ala Dietrich Boenhoeffer yang menghayati Allah yang pasca  mahakuasa (post omnipotence) itu  :
“The God who let us live in the world without the working hypothesis of God is the God  before whom we stand continually. Before God and with God we live without God.God is weak and powerless in the world and that is precisely the way, the only way, in which he is with us and helps us. Matt 8:17 makes it quite clear that Christ helps us, not by the virtue of his omnipotence, but by virtue of his weakness and suffering “  (Bonhoeffer ,1997,87)
Anateisme tidak hadir untuk berapologetika soal kehadiran Allah karena kemampuan-Nya untuk menghindarkan yang getir dari kemanusiaan dan dari pengalaman hidup. Alih-alih anateisme hadir untuk memberi perspektif baru dalam menjumpai Allah yang tidak bangkit menolong kita keluar dari kegelapan dan kegetiran hidup secara instan dan menyangkali pengalaman penderitaan yang nyata dalam hidup, melainkan memandang penderitaan sebagai bagian dari  orkes polifonik kehidupan dimana didalam berbagai suara-suara sumbang kehidupan Allah justru dijumpai didalamnya ((Kearney,2012,69) . Didalam Absennya dan heningnya Allah dalam realitas penderitaannya di penjara wanita di Malang- Jawa Timur, Eyang Lestari justru menjumpai Allah dalam tradisi protestannya.
 Sekali lagi alusi ini mengarahkan kita pada pernyataan anateisme dihadapan penderitaan yang pernah dikatakan  Paul Ricoeur :
“God is dead is nothing to do with the word ‘God is not exist’ .Its is even the total opposite. This means to say : The God of religion, of metaphysics and of subjectivity is dead; the place is vacant for the preaching of the cross and for the God of Jesus Christ” ( Ricoeur ,1994,250)
Dihadapan Allah metafisika yang mati inilah Allah yang lemah  lahir. Allah yang lemah didalam Yesus Kristus  hadir dipusat kehidupan , justru karena kesadaran akan adanya kerapuhan kehidupan sehingga tiap saat dan rutinitas kehidupan menjadi bermakna dan berarti (Ricoeur,1994,250). Allah yang menderita yang hadir didalam inkarnasi diri Yesus Kristus menunjukan bahwa yang rapuh, yang membosankan dan rutin itulah Allah menyatakan undangannya kepada kita yang menderita hari ini bahwa Allah mengafirmasi afirmasi kita kepada realitas penderitaan (Kearney,2012,69).  Beriman kepada Allah anateisme menuntun kita untuk menolak sikap nihilistik kaum modern kepada penderitaan, atau sikap mengagungkan penderitaan dengan semangat masochisme  seperti kaum mistik. Iman anateisme  mengafirmasi keluhan  dan perasaan sakit bersalin besama dengan segala mahluk didunia ini didalam kesadaran bahwa didalam keluhan inilah perjumpaan dengan Allah dialami.

Sebuah usulan untuk perjumpaan kembali dengan Allah:spiritualitas sehari-hari
Charles Sabatino [11] dan Barbara Taylor[12] memberi kita sebuah pendaratan bagi penghayatan kepada Allah  anateisme dalam spiritualitas sehari-hari. Keseharian dan rutinitas adalah cara  berjumpa dengan Allah. Keseharian dan rutinitas adalah sebuah sakramen dalam kerangka anateisme (Sabatino, Volume 25 / Issue 01 / Spring 1998). Sakramen yang dalam teologi kristen dipahami sebagai “ tanda eksternal dari anugerah spiritual dan bersifat internal” ternyata bukan hanya ada didalam ritual gerejawi saja (Taylor, July-September 2003). Taylor dengan lugas berkata :
God's activity is not limited to two, seven or even seventy-times-seven such rites. Instead, I learned, the sacraments I practiced in church were patterns of "countless ways" that God uses material things to reach out to human beings in the world. Countless ways? Based on this surprising revelation, I set out on a search for everyday sacraments and it was not long before I found them everywhere.  The same pattern of rebirth that I learned in baptism showed up in everything from bathing to watering plants. The same pattern of relationship that I learned in communion was available in every meal eaten mindfully. The laying-on of hands took place as I held a crying baby or rubbed the shoulders of a tired friend. With a little oil, I could even offer the sacrament of a pretty good massage. When I walked outside and looked at the smoking compost heap, I saw a sacrament of death turning into life. When I used my little bottle of white-out to correct a mistake, I remembered that my errors did not have to be permanent. Everywhere I turned, the most insignificant things in the world were preaching little sermons to me. Everywhere I turned, the world was leaking light.” (Taylor, July-September 2003).

Kesadaran sakramental inilah yang menafaskan perjumpaan dengan Allah yang hidup didalam anateisme. Makan, minum, berjalan, bertemu muka dengan tetangga, menyapa, dan berbagai rutinitas lainnya adalah tanda bahwa kita adalah mahluk yang perlu berelasi dengan dunia diluar diri kita untuk mengada. Pengalaman mengada ini dihadirkan dalam keterbukaan kita akan dunia baik biologis,politis,seksual, maupun sosiologis. Keterbukaan ini dalam kerangka penghayatan anateisme adalah cara Allah sang pemilik dan sumber kehidupan itu dijumpai (Kearney,2012,152).
 Yang sakral itu dijumpai didalam dunia meskipun pada saat yang sama Dia yang kudus itu bukan dari dunia.  Hal ini meneguhkan apa yang sebelumnya oleh  Edward Schillebeeckx , seorang teolog katolik abad 20 dari Belgia bahwa “tidak ada keselamatan diluar dunia( Extra mundum nulla salus)” (Schillebeeckx,1960,321).  Schillebeeckx menandaskan bahwa : “the creative and saving presence of God's grace" becomes manifest "wherever human persons minister to one another, especially to the neighbor in need. Human love is an embodiment, a sacrament, of God's love." He called these experiences "fragments of salvation"(Schillebeeckx,1987,188).
Pengalaman berjumpa kembali dengan Allah dalam Anateisme adalah sebuah sikap menubuh dan melebur dalam berbagai pengalaman keseharian hidup  yang jauh dari peristiwa monumental kepada Allah maka hal tersebut memiliki nilai sakramental.
Penutup
Percakapan mengenai Allah dan masalah kejahatan menjadi issue yang menghangat diawal milenium ketiga ini ketiga identitas keagamaan semakin menguat seiring dengan tragedi 9/11 diawal abad  21 ini. Penjelasan ontoteologis dan metafisik dalam theodicy  sudah tidak memadai dimasa post struturalis ini untuk menjelaskan masalah kejahatan.  Anateisme hadir untuk menawarkan detour hermenetika ditengah ketegangan kebangkitan fundamentalisme beragama dan kebangkitan ateisme baru yang semakin mengental belakangan ini.
Allah Anateisme   adalah Allah yang dijumpai didalam penderitaan. Allah anateisme  bukanlah  Allah utopia dan metafisik yang menawarkan  pembebasan  penderitaan dengan memberi janji eskatologis kedalam dunia lain ditempat imajiner bernama surga.   
Allah yang didipahami dalam anateisme adalah Allah yang dijumpai didalam penderitaan ditengah dunia ini . Allah yang  memberi kekuatan melawan dan bangkit melawan tirani yang merusak dunia milik Allah sendiri dan berkabung bersama Allah didalam keluhan-keluhan yang tak terucapkan.   Dalam konteks menjalani hidup di Indonesia yang dipenuhi oleh sejarah kekerasan, genosida dan berbagai macam pelanggaran Hak Asasi Manusia perspektif Anateisme  menawarkan  wacana baru untuk berteologi secara  konstruktif dan  secara pastoral ditengah Indonesia yang sedang bergumul dan menyelesaikan berbagai konflik  horizontal dan vertikal dimasa lalu, pengerasan identitas suku dan keagamaan. Penulis meyakini bahwa wacana ini perlu dikaji secara kritis dan mendalam dalam untuk digumuli lebih lanjut dalam perziarahan beriman dan berteologi di Indonesia.


Daftar pustaka
Bonhoeffer, Dietrich. Letter and Paper from Prison. Touchstone, 1997.
cahayapengharapan. 2014. http://www.cahayapengharapan.org/artikel/texts/iman_dan_keraguan.htm diakses .
Critchley, Simon. The Book of Dead Philosopher. Granta Books, 2008.
etymonline. 2014. http://www.etymonline.com/index.php?search=anthropomorphism&searchmode=none.
Kearney, Richard. Anatheism. Columbia University Press, 2012.
Otto, Rudolf. The Idea Of The Holy. Oxford University Press; 2 edition , 1958.
palingaktual.com. December 29, 2014. http://palingaktual.com/1311972/eyang-lestari-bekas-tapol-1965-berpulang/read/ (accessed December 29, 2014).
Ricoeur, Paul. In the Conflict of Interpretations (Socialanalytik). Aarhus University Press, 1994.
—. The Rule of Metaphore. University of Toronto Press , 1981.
Rilke, Rainer Maria. Rilke on Love and Other Difficulties. W. W. Norton & Company , 1994.
Sabatino, Charles. "Experiencing The Everyday World as Grace." Horizons , Volume 25 / Issue 01 / Spring 1998: 84-94.
Schillebeeckx, Edward. Christ the Sacrament of Encounter with God. Sheed & Ward, 1987.
Taylor, Barbara Brown. "Everyday Sacrament." Living Pulpit, July-September 2003: 13-15.
Thompson, Geoff. Karl Barth: A Future for Postmodern Theology? Australian Theological Forum, 2000.
Yancey, Phillip. Where is God when it's Hurt. Zondervan, 1997.






[1] Ontoteologi berasal dari kata Ontology yang berati kajian mengenai keberadaan yang adalah cabang dari metafisika, dan kata theology atau kajian tentang Allah. Secara umum Ontotheology adalah usaha merumuskan keberadaan Allah dalam term-term metafisika modern dari era Immanuel Kant sampai dengan Martin Heiddeger. Lebih lanjut dapat dilihat di buku  Ian D. Thomson.Heidegger on Ontotheology: Technology and the Politics of Education, Cambridge University Press , 2005, 34.

[4] Anateisme berasal dari kata ana yang artinya kembali, dan teisme yang berarti kepercayaan kepada Allah. Anateisme adalah sebuah term yang dibuat oleh Filsuf  dari Boston University Richard Kearney dalam buku yang ditulisnya dengan judul Anatheism pada tahun 2012 untuk merujuk kepada pengalaman perjumpaan kembali dengan Allah pasca ontotheologi.
[5] Gerakan ateisme baru (new atheist) adalah gerakan yang populer di dekade 2000-an . Simon Hooper seorang peneliti kebudayaan di kantor berita CNN (Cable News Network)mengatakan New Atheism is a social and political movement in favour of atheism and secularism promoted by a collection of modern atheist writers who have advocated the view that "religion should not simply be tolerated but should be countered, criticized, and exposed by rational argument wherever its influence arises. Artikel lebih lengkap dapat diakses http://edition.cnn.com/2006/WORLD/europe/11/08/atheism.feature/index.html
[6] Pew research forum, sebuah lembaga riset agama dan kebudayaan di Amerika serikat membuat pengumuman hasil riset yang mencengangkan di bulan aril tahun 2014 ini. Riset itu mengatakan :
“A comprehensive demographic study of more than 200 countries finds that there are 2.18 billion Christians of all ages around the world, representing nearly a third of the estimated 2010 global population of 6.9 billion. Christians are also geographically widespread – so far-flung, in fact, that no single continent or region can indisputably claim to be the center of global Christianity.
A century ago, this was not the case. In 1910, about two-thirds of the world’s Christians lived in Europe, where the bulk of Christians had been for a millennium, according to historical estimates by the Center for the Study of Global Christianity.2 Today, only about a quarter of all Christians live in Europe (26%). A plurality – more than a third – now are in the Americas (37%). About one in every four Christians lives in sub-Saharan Africa (24%), and about one-in-eight is found in Asia and the Pacific (13%).” http://www.pewforum.org/2011/12/19/global-christianity-exec/  Diakses pada 20 desember 2014.
[7] Menurut John Hicks secara umum argumen theodicy   dalam tradisi kristen dibagi menjadi dua pendekatan. Yang pertama adalah pendekatan Agustinian dan pendekatan Irenian. Bagi sistem theodicy Agustinian semua bentuk penderitaan dan bencana berujung pangkal dari peristiwa kejatuhan dalam dosa yang dilakukan manusia pertama (adam dan hawa) di taman Eden. Dari pemberontakan manusia pertama di taman Eden inilah segala macam penderitaan, kematian, kerusakan dan kemalangan masuk kedalam dunia.Sehingga dimakannya buah pengetahuan yang baik dan jahat adalah katastrofi kosmik, bukan karena Allah adalah penyebab adanya penderitaan . Sedangkan bagi pendekatan Irenian memiliki perspektif yang berbeda dengan kontras. Bagi pendekatan  Theodicy Irenian peristiwa jatuhnya manusia pertama kedalam dosa di taman Eden adalah sebuah hal yang wajar, manusiawi karena itulah hakekat dari manusia yaitu mahluk yang penuh rasa ingin tahu. Justru dari peristiwa ini manusia bisa belajar konsekuensi dari tindakannya. Peristiwa ditaman Eden, bagi Irenian bukanlah sebuah bencana karena pada hakekatnya dunia yang tercipta hanya bisa bermoral jika ada gabungan antara jahat dan baik. Adanya kejahatan merupakan konsekuensi logis adanya kebaikan.Bandingkan dengan Hicks,John. Evil and The God of Love, Palgrave Macmillan; Reissue edition ,2010, 121-122.
[8] Kata  anthropomorphisme pertama kali digunakan pada tahun 1700 didunia literatur. Kata Antropomorphisme berasal dari kata  ἄνθρωπος (ánthrōpos), "manusia ", dan  μορφή (morphē), yang berarti “rupa”, “Citra”. Lihat penjelasan lebih lanjut di  http://www.etymonline.com/index.php?search=anthropomorphism&searchmode=none diakses 20 desember 2014.
[9] Narasi-narasi dalam teks alkitab perjanjian lama misalnya menggambarkan begitu banyak perjumpaan yang bersifat  monumental dengan Allah misalnya perjumpaan Abraham dengan Allah melalui oracle (perkataan Ilahi) dalam teks Kejadian 12:1-3, Peristiwa perjumpaan Abraham dengan tiga malaikat di Mamre ( Kejadian 18:1-8) dan lain sebagainya.
[10] Pulau Buru,Plantungan-Kendal, Penjara Bukit Duri-Jakarta adalah ikon-ikon penyiksaan yang dialami oleh orang-orang yang menjadi pendukung politik Soekarno  dan eksponen PKI dan organ-organnya pada dekade 1970-1990 akhir. Eyang Lestari adalah salah satu dari sekian juta orang yang ditahan di penjara malang jawa timur  selama 11 tahun tanpa diadili. Lestari pertama kali bergabung dengan pengurus Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Saat itu usianya baru 20 tahun. Dia sempat menjadi Ketua Cabang Bojonegoro. Lalu karena dianggap berprestasi, dia kemudian ditarik menjadi pengurus tingkat provinsi di Surabaya, Jawa Timur. Di sinilah dia kemudian menikah dengan Suwandi, Ketua Comite Daerah Besar (CDB) Partai Komunis Indonesia (PKI). Tibalah September kelam tahun 1965 itu. Lestari tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba semuanya berubah drastis. Anggota PKI, Gerwani, Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia, dan semua underbouw PKI diburu. Mereka semua dituduh terlibat pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya."Padahal kami tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Suami saya masuk daftar orang yang paling banyak dicari. Dia kan orang PKI nomor satu di Jawa Timur," jelas Lestari.
Lestari lari dari Surabaya. Hidupnya berpindah-pindah untuk menghindari kejaran tentara dan massa anti-PKI. Suasana di Jawa Timur dan Jawa Tengah panas. Lestari ingat saudaranya lurah di Nganjuk, Jawa Timur tewas dibantai tanpa pengadilan. Hanya karena dicap PKI.
Akhirnya para pelarian PKI berkumpul di Blitar Selatan. Di sini, Lestari tinggal selama dua tahun. Dia menggambarkan Blitar saat itu masih sangat terbelakang. Kondisi hutan dan gua di sana dianggap ideal untuk pelarian.Tentara kemudian menggelar operasi Trisula untuk mengejar pelarian PKI di Blitar Selatan. Operasi gabungan ini berhasil menghabisi dan menangkap para anggota PKI yang tersisa. Lestari dan suaminya tertangkap tahun 1968 saat bersembunyi di dalam gua.
Lestari lalu dibawa ke tahanan wanita di Malang. Dia tidak pernah diadili. Tapi ditahan selama 11 tahun dalam penjara di Malang. Dia baru bebas tahun 1979. Sementara suaminya akhirnya meninggal dunia tahun 1984 di penjara. Lestari sendiri akhirnya meninggal dunia tanpa mendapatkan rehabilitasi dan restitusi pada 28 Desember 2014. Sumber  http://palingaktual.com/1311972/eyang-lestari-bekas-tapol-1965-berpulang/read/ Diakses 29 Desember 2014.
[11] Charles Sabatino adalah associate Professor filsafat  pada departemen Filsafat di Daemen College ,Amherst New York,Amerika Serikat.
[12] Barbara Taylor adalah seorang imam wanita dari gereja episkopal Amerika Serikat . Pada tahun 2014 lalu Majalah Time memasukannya dalam daftar 100 orang paling berpengaruh didunia. http://en.wikipedia.org/wiki/Barbara_Brown_Taylor#cite_note-time-3. Diakses 29 Desember 2014.